Senin, 13 September 2010

Ku tunggu datangnya hari itu



Ku tunggu datangnya hari itu


            Aku dan Agrita adalah teman sebangku sejak kelas dua es em u. Kami berdua bisa di bilang akrab bahkan sudah seperti saudara sendiri. Apabila aku mempunyai masalah dan tidak bisa menyelesaikannya, Agrita yang selalu ada di sisiku dan membantuku begitupun sebaliknya. Kami berdua sering mengerjakan tugas sekolah bersama, pergi bersama, nonton bersama dan segala sesuatunyapun biasa kami lakukan bersama baik itu senang maupun sedih.

            Seminggu yang lalu Agrita mengenalkan teman cowoknya yang bernama Radit kepadaku. Agrita tau, bahwa selama ini aku belum pernah dekat dengan seorang cowok apalagi sampai berpacaran! Tak terasa semakin hari setelah perkenalanku dengan Radit, hubungan kami berdua menjadi sangat dekat. Radit sering menelponku dan kami berdua juga sering es em es an.
            “Tha, kok kamu diem aja?” Tanya Agrita membuyarkan lamunanku.

            “Ah, enggak kok.” Jawabku singkat.

            “Gimana sama Radit?” Tanya Agrita menggodaku.

            “Gimana apanya?” aku malah balik Tanya.

            “Sukses deh buat kalian berdua.” Ledek Agrita.

            Aku tersenyum lalu merangkul Agrita dan ia pun membalas rangkulanku.

            Rencananya, siang sepulang sekolah ini Radit akan menjemput dan mengantarku pulang ke rumah sehingga aku dan Agrita menunggunya di depan gerbang. Entah kenapa saat aku menunggu kedatangan Radit, hatiku berdebar-debar namun Agrita terus-terusan membujukku agar tidak nervous.
            “Hai, Retha!” sapa Radit ketika sampai di hadapanku seraya turun dari motornya.

            Duh, ngomong apa nih gue sama Radit? Aku membantin.

            “Hai.” Balasku singkat sambil tersenyum meringis.

            “Tha, Dhit, aku balik duluan, ya?” pamit Agrita yang kemudian langsung menyetop  taksi.

            “Kamu mau pulang sekarang?” Tanya Radit kepadaku.

            “Sebenernya sih aku mau ke toko buku dulu tapi kalo kamu nggak bisa nganter sih nggak apa-apa.” Jelasku.

            “Yuk, aku anter.” Ajak Radit kemudian ia telah siap dengan motornya.

            Aku menaiki motor Radit kemudian ia membawanya dengan kencang. Cuaca siang ini sangat panas namun jari-jari tanganku terasa sangat dingin. Akhirnya kami berdua telah sampai di toko buku daerah Depok.

            Setelah masuk langkahku terhenti karena aku melihat tempat sekumpulan sastra yang aku cari.

            “Kamu suka sastra-sastra gitu?” Tanya Radit.

            “Iya, kamu sendiri suka buku apa?”

            “Aku sih suka sama buku tentang otomotif.”

            Aku menganggukan kepala lalu segera mengambil sekumpulan sastra milik Kahlil Gibran dan menuju kasir namun saat aku ingin membayarnya, Radit telah membayarnya terlebih dahulu. Aku melarang namun ia hanya tersenyum dan mengajakku pergi.

            Ya, semakin hari nampaknya aku semakin dekat dengan Radit. Apabila Radit tidak menelpon atau sekedar mengirimkan es em es, aku merasa ada sesuatu yang hilang. Terkadang juga aku memikirkannya. Mungkinkan ini yang namanya cinta pertama. Entah apalah namanya, pastinya aku merasakan yang belum pernah aku rasakan.

***

            “Tha, nanti ke rumah Dewi, yuk!” ajak Agrita dan Irfan.

            “Duh Grit, Fan, kayaknya kalo hari ini nggak bisa deh.” Jawabku.

            “Kenapa?” Tanya Irfan.

            “Aku mau makan siang sama Radit.” Jawabku sambil tersenyum malu-malu.

            “Oh, ya udah.” Kata Agrita mengerti diriku.

            Sepulang sekolah seperti biasanya aku menunggu Radit di depan gerbang dan akhirnya tak berapa lama kemudian Radit telah sampai. Tidak menunggu lama, kami berdua bergegas ke restoran tempat kami makan.

            “Tha!” panggil Radit tiba-tiba saat kami duduk di bangku..

            “Iya.” Jawabku.

            “Aku nggak mau kehilangan kamu karena aku sayang sama kamu dan aku ngerasa kalo kita berdua tuh cocok dan saling mengisi kekurangan satu sama lain.”

            Aku kaget setengah mati. Minuman yang baru saja ku minum hampir keluar lagi dari mulutku. Rasa senang bercampur kaget bergemuruh dalam hatiku. Hati ini tak bisa berbohong bahwa aku juga merasakan yang Radit rasakan. Akupun takut kehilangan dirinya. Ini yang pertama kalinya aku rasakan namun seiring jam berjalan, Radit belum memintaku untuk menjadi pacarnya seperti yang aku harap dan aku inginkan sehingga akupun tak akan memulai segalanya.

            Setelah makan siang, Radit mengantarku sampai rumah dan anehnya sebelum ia pergi, ia menggenggam tanganku dengan erat lalu berkata agar aku tidak berhubungan lagi dengan Agrita.

            “Tha, kamu percaya kan sama aku? Aku nggak mau kamu dekat-dekat sama Agrita karena dia bukan sahabat yang baik. Dia selalu menjelekkan kamu di hadapan aku.” Kata-kata itu yang selalu terbayang di benakku. Aku bimbang dengan semuanya. Aku tak pernah menyangka Agrita tega menjelek-jelekan aku pada Radit. Di satu sisi Agrita adalah teman baik untukku dan di sisi lain Radit adalah cinta pertamaku dan aku tidak mau kehilangan Radit.

            Akhirnya aku memutuskan untuk menjaga jarak dengan Agrita. Di sekolah, aku jadi jarang bicara dengan Agrita. Ke kantin atau kemanapun aku selalu minta antar Irfan. Agrita mungkin menyadari perubahan sifatku. Hingga akhirnya saat aku berpapasan dengan Agrita di kamar mandi.

            “Kamu kenapa sih Tha akhir-akhir ini berubah?” Tanya Agrita.

            “Kenapa? Kayaknya biasa-biasa aja deh,” Aku mengelak sebisa mungkin.

            Namun aku tau betul bahwa aku tidak dapat menyembunyikan rasa kegelisahanku dan Agrita tau itu. Agrita terus menatap wajahku dalam-dalam.

            “Jujur aja deh, ada apa?”

            Aku terdiam.

            “Ada apa Tha?! Kamu piker aku nggak ngerasa? aku bukan sahabat kamu yang bego yang nggak tau apa-apa tentang kamu!” bentak Agrita.

            “Ya, karena kamu tau semua tentang aku, kamu bisa bersikap seenajnya dan ngejelek-jelekin aku kan?!” balasku lalu pergi meninggalkan Agrita yang kelihatan kebingungan.

            Agrita berlari sambil memanggil namaku namun tidak ku hiraukan. Ia mengejarku sebisa mungkin.

            “Maksud kamu apa sih Tha?” paksa Agrita sambil menggoyangkan bahuku.

            Aku melepaskan cengkraman Agrita di bahuku kemudian berlari dengan cepat meninggalkannya. Aku tak mau merusak hubunganku dengan Agrita tapi aku juga tak mau hubunganku menjadi jauh dengan Radit. Sejujurnya, aku sangat berharap bisa berpacaran dengan Radit sehingga aku menikmati hari-hariku bersamanya dan tidak juga mengorbankan persahabatan yang telah lama ku jalin dengan indah.

***

            Aneh, sudah sebulan ini Radit sama sekali tidak menghubungiku. Baik via apapun. Aku resah namun aku mencoba mengerti kesibukannya dan tidak menggangu konsentrasinya. Mungkin saja ia sedang sibuk menghadapi ulangan atau pe er nya yang setumpuk.

            Sore ini, Irfan mengerjakan tugas Matematika di rumahku.

            “Tha, kamu kayaknya makin jauh deh sama Agrita.” Kata Irfan tiba-tiba.

            Selintas aku berpikir. Apa artinya aku tanpa Agrita di sisiku? Sudah tak ada lagi warna-warni canda yang menghiasi kehidupanku. Semuanya hilang begitu saja tanpa makna.

            “Ah biasa aja.” Jawabku.

            “Eh, kamu sebenernya udah jadian belum sih sama yang namanya Radit-Radit itu?” Tanya Irfan.

            “Belum, emang kenapa?”

            “Kayaknya kemaren pas aku ke mall sama ajeng, aku ketemu Radit sama…”

            Aku mengerutkan kening.

            “Sama…”

            “Sama siapa?” tanyaku sedikit membentak.

            “Agrita.”

            Ngapain Agrita jalan sama Radit? Dan bukannya Radit yang melarangku dekat dengan Agrita? Tapi kenepa? Aku terus bertanya pada diriku sendiri.

            Kaget, sedih, perih, hancur lebur hatiku mendengar ucapan Irfan. Apa yang ada di balik semua ini?

***

            “Orang yang paling gue benci seumur hidup adalah kalian berdua!!!” bentaku pada Radit dan Agrita saat datang ke rumahku dan membuat statement bahwa mereka berdua telah jadian tanpa sengaja.

            Agrita dan Radit hanya terdiam dan saling berpandangan. Terlihat jelas, raut bersalah dalam wajah mereka berdua. Agritapun hampir menangis.

            “Asal kalian tau, gue bukan orang yang murah dalam menilai persahabatan dan cinta! Tapi kenapa kalian tega menghancurkan prinsip gue?”

            “Tha, tolong jangan kayak gitu!” pinta Radit sambil mendekatiku.

            “Apa? gue benci sama lo! Kalo emang lo bakal kayak gini, nggak usah ngasih-ngasih harapan yang buat gue terbang tinggi hingga akhirnya jatuh terbanting.” Aku berkata dengan linangan air mata. “Terbanting Dit…” ulangku pelan.

            “aku nggak tau harus gimana sama kamu, Tha!! Maafin aku dan Radit karena kita berdua emang salah!” Agrita berusaha menenangkanku.

            “Lo juga Grit! Temen apaan lo? Jujur, Bukan kalian berdua yang salah! gue yang salah, gue yang selalu salah dan gue juga salah menilai kalian berdua. Terima kasih atas penghianatan yang kalian berikan. Sekarang gue sadar bahwa lo berdua bukanlah seorang cowok dan sahabat yang sesungguhnya buat gue!!!” Bentakku lalu meninggalkan Radit dan Agrita.

            Aku hanya dapat menunggu hari itu, Hari itu yang akan membalas sakit hatiku.

***

            “Huaaah.” Aku menguap. Baru saja aku terbangun dari mimpi buruk. Bajuku basah dengan keringatku sendiri. Untunglah semua itu Cuma mimpi. Tak pernah terlintas dalam benakku apabila itu semua dapat terjadi. Aku tak mau menghancurkan persahabatanku hanya karena seorang cowok. THAT’S NOTHING!!!

            Ku lihat jam dinding telah menunjukkan pukul 05.00 subuh. Aku segera membereskan tempat tidurku kemudian  bergegas ke kamar mandi dan bersiap-siap ke sekolah.

            Paginya saat aku sampai di sekolah.

            “Tha, ngelamun apa sih?” Tanya Agrita membuyarkan lamunanku.

            “Ah, enggak.”

            “Nih!” seru Agrita sambil menyerahkan sebuah kartu nama padaku.

            “Apaan nih?” tanyaku bingung.

            “Coba deh lo liat,” suruh Agrita. “Namanya Radit, cowok yang mau gue kenalin sama lo.” Jelas Agrita sambil tersenyum.

            “HAH????!!!!!!!!!!!!!!!!”



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Ninis Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | Illustration by Enakei | Blogger Blog Templates