Kalo dari daerah rumah gue di Pasar Rebo cukup naik
metromini 76 dan turun di lampu merah fatmawati kemudian naik angkot 01 yang
berwarna putih lalu berhenti nggak jauh dari halte lebak bulus dan jalan agak
masuk sedikit. Sesampainya disana seorang satpam yang ramah menghampiri Gue
yang terlihat kebingungan. Setelah berbincang sedikit, Gue diantar menemui
seorang Guide yang namanya Mas Ade, orangnya ramah dan humoris. Oh iya, untuk
registrasi tiket masuk dikenakan biaya yang cukup murah yaitu 10.000 sudah
termasuk pemutaran video sejarah layang-layang, touring sekitar museum, dan
pembuatan layang-layang paperfold. Waw, banyak banget yang kita bisa dapetin
kan?
Dari pintu gerbang sebelah kiri halaman depan, terlihat
studio keramik yang terbuka. Gue penasaran dan segera menghampiri beberapa anak
kira-kira berumur sekitar 7 sampai 10 tahun yang sedang asyik membuat dan
membentuk hewan dengan bahan keramik. Ternyata, Museum layang-layang juga
menyediakan berbagai macam workshop untuk umum yaitu membuat layang-layang
Diamond, keramik, dan juga batik. Tak kalah menariknya ada juga workshop
melukis pada layang-layang(polyester besar/kecil), payung, T-shirt dan Wayang.
Untuk harga, berbagai jenis yang ditawarkan. Menurut brosur yang Gue baca,
untuk membuat layangan diamond di kenakan biaya sebesar 12.500, untuk keramik
di kenakan sebesar 50.000, untuk batik (minimal 5 orang) 40.000 semua sudah
termasuk dengan alat dan bahan.
Menurut Rhoda Baker dan Miles Denyer dalam book MAKING KITES yang Gue baca di Museum layang-layang, perkembangan layang-layang terjadi di Eropa walaupun tidak menarik bagi anak-anak untuk memainkannya. Kemudian pada tahun 1949 serangkaian layang-layang digunakan untuk mengukur temperatur udara oleh Alexander Wilson. Tiga tahun kemudian, Benjamin Franklin yang terkenal dengan percobaannya bahwa petir adalah listrik juga sempat melakukan percobaan terhadap layang-layang. Untuk lebih lanjutnya, kunjungi deh Museum layang-layang Indonesia yang didirikan pada tanggal 21 Maret 2003 oleh Ibu Endang W. Puspoyo.
Menurut Rhoda Baker dan Miles Denyer dalam book MAKING KITES yang Gue baca di Museum layang-layang, perkembangan layang-layang terjadi di Eropa walaupun tidak menarik bagi anak-anak untuk memainkannya. Kemudian pada tahun 1949 serangkaian layang-layang digunakan untuk mengukur temperatur udara oleh Alexander Wilson. Tiga tahun kemudian, Benjamin Franklin yang terkenal dengan percobaannya bahwa petir adalah listrik juga sempat melakukan percobaan terhadap layang-layang. Untuk lebih lanjutnya, kunjungi deh Museum layang-layang Indonesia yang didirikan pada tanggal 21 Maret 2003 oleh Ibu Endang W. Puspoyo.
Penasaran kan? Pastinya Museum layang-layang membuat Gue
untuk mengunjungi tidak hanya sekali. Tempatnya yang teduh dan rindang membuat
Gue betah untuk berlama-lama disana sambil menikmati berbagai bentuk
layang-layang yang unik. Mulai dari layangan kertas, batik, hewan, bahkan
layang-layang tiga dimensi yang berukuran sangat besar. Museum layang-layang
ini juga tempat yang efektif untuk mengajak keluarga dan anak karena berbagai
macam edukasi bisa kita dapatkan untuk perkembangan anak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar