Seminggu lagi merupakan hari yang
menegangkan dan hari paling bahagia sepanjang hidupku. Keluarga pacarku, Ben
raharjo akan datang untuk berkenalan dengan keluargaku. Maklumlah hubungan yang
telah aku jalin sudah setahun lebih. Ben, Lelaki yang selalu menemaniku saat
duka maupun bahagia. Ya, aku selalu bahagia dengannya. Saling pengertian dan
jujur adalah kunci untuk kami berdua menuju hubungan yang serius.
Namun ketika itu, tiga hari sebelum
acara perkenalan, aku bertemu dengan seseorang yang merupakan teman lamaku dan
juga pernah mengisi hidupku dahulu.
Langkahku terhenti ketika ingin
menuju kampus, seorang lelaki yang aku kenal betul berdiri di hadapanku,
sedikit menghalangi jalanku. Mungkin tak sengaja. Tak lama kemudian lelaki itu
tersenyum padaku.
“Rizky?” tanyaku sedikit terpana
akan perubahan fisik dan stylenya yang sangat berbeda.
Kali ini Rizky terlihat lebih fashionable dibandingkan dahulu. Ya, dua
tahun yang lalu ketika aku masih berpacaran dengannya. Ketika SMA.
“Ninis, kan?” tanyanya heran dan
memastikan.
Aku mengangguk. Malu. Entah apa yang
ingin kukatakan. Hubunganku dengan Rizky yang kujalin selama enam bulan tidak
berhasil dengan indah karena setelah lulus SMA ia melanjutkan kuliahnya di
Singapore dan aku tidak bisa melakukan Long
Distance Relationship. Akhirnya dengan sangat terpaksa, kami memutuskan
untuk berpisah hingga akhirnya aku bertemu dengan Ben dan menjalin hubungan.
“Kamu kuliah disini, Nis?”
“Ia, Riz,” jawabku singkat.
“Oh, jurusan apa?”
“Seni rupa.”
“Sudah lama kita tak bertemu,
bagaimana kalau kita berbincang sebentar sambil makan siang?”
Aku terdiam. Bingung.
Satu detik. Dua detik. Tiga detik...
“Kamu keberatan?” tanya Rizky lagi.
Aku menggelengkan kepala. Dengan
berat hati, aku memutuskan untuk makan siang dengannya. Yahh... aku pikir tak
ada salahnya juga apabila aku hanya berbincang sebentar seputar pekerjaan dan
keluarga, mungkin. Akhirnya sampailah kami pada sebuah restaurant sea food langgananku dengan Ben di
sebrang kampus.
“Bukankah kamu di luar negeri?” aku
mengawali pembicaraan.
“Ya benar tetapi sekarang aku sedang
mengunjungi keluarga. Aku juga ada urusan dengan temanku di sebuah kantor, jadi
kemungkinan aku akan sering balik kesini,” jelasnya.
Rizky terlihat memperhatikanku
dengan seksama. Aku menjadi salah tingkah. Wajah yang dahulu aku kira tak akan
pernah terlihat lagi kini ada di
depanku, dan sangat berbeda.
“Nomer kamu masih yang dulu, Nis?”
“Hmmm, enggak. Udah ganti,”
“Boleh aku save?”
“Hmmmm, boleh,”
“Nis, apakah kamu masih
menungguku??” tanya Rizky to the point.
Aku terkejut dan tak menyangka Rizky
bisa berbicara seperti itu. Ya Tuhan mengapa cobaan yang berat datang secepat
ini. Dahulu aku sangat mencintai Rizky dan aku pernah berjanji untuk
menunggunya namun karena aku tak sanggup dan Ben terlalu baik padaku, perasaan
itu lambat laun hilang seiring berjalannya waktu.
Ben selalu membuat aku lupa dan
tidak mengingat Rizky lagi. Ben yang selalu menghadirkan semangat untukku. Ben
yang selalu menyalakan api ketika lilinku padam setiap mengingat Rizky. Namun
kini kehadiran Rizky membuat jantungku berdebar-debar lagi tak karuan. Seperti
waktu pertama kali aku berjumpa dengannya.
Walaupun penampilan Rizky berubah
drastis, namun tatapan matanya masih sama seperti dahulu, teduh dan membuatku
selalu ingin menatapnya. Aku terhanyut dalam buaian waktu saat ini.
Tiba-tiba iPhone-ku berbunyi membuyarkan
lamunanku dan panggilan itu berasal dari Ben.
“Sayang, kamu dimana?” tanya Ben
dari seberang telepon.
“A.. aku sedang makan siang,”
jawabku sedikit gugup.
“Di kampus?”
“Bukan, di... di luar kampus Ben,”
“Pasti kamu makan sendiri lagi yaa?
Lagi kepengen makan sea food kan
kamu?” tanya Ben pasti dan hal itu benar. Ben yang mengetahui segala tentangku.
Aku tidak akan makan di luar kampus selain di restaurant sea food ini.
“I.. iya,” aku hanya bisa menjawab
seperti itu.
“Maaf ya aku masih di kantor jadi
nggak bisa nemenin kamu deh,”
“Nggak apa-apa,” jawabku singkat.
Ah, baru kali ini aku membohongi
Ben. Hal bodoh apa yang aku lakukan? Aku terus bertanya pada diriku sendiri. Pandangan
Rizky mencuri pada wajahku sesekali kemudian tersenyum dengan sangat manis.
“Pulangnya jangan kemaleman ya, aku
ada lembur di kantor malam ini,” Ben selalu memperhatikanku. Setiap hal kecil
yang aku lakukan.
***
Sebulan kemudian. Setelah Ben dan keluarganya
datang untuk berkenalan dengan keluargaku, tanpa sepengetahuan Ben, aku
menerima ajakan Rizky untuk bertemu ditempat dahulu kita sering menghabiskan
malam minggu di Excelso cafe. Kami berdua bergandengan tangan sambil
membicarakan tentang hubungan yang dahulu pernah terjalin. Entah kenapa
perbincangan berjalan dengan sendirinya tanpa aku sadari aku terhanyut. Oh,
tiba-tiba aku sangat merindukan kejadian itu dan ingin mengulangnya kembali tanpa
memikirkan Ben sama sekali.
Entah kenapa aku menjadi nyaman
ketika berada di dekat Rizky lagi dan aku mulai menaruh harapan agar semua
tidak berlangsung singkat. Aku inginkan seperti ini bersama Rizky
berkepanjangan. Namun Ben, masih tetap sangat memperhatikanku di sela
kesibukannya.
***
Sebuah email masuk dalam yahoo-ku.
Ben.raharjo@yahoo.com
Ninis, kemarin aku melihatmu bersama seseorang yang akhirnya kuketahui adalah kekasihmu sebelum kamu bertemu denganku. Kamu tak perlu khawatir karena aku sudah berbicara pada keluargaku dan keluargamu tentang pembatalan perunangan kita. Doaku selalu indah untukmu.
Ninis, kemarin aku melihatmu bersama seseorang yang akhirnya kuketahui adalah kekasihmu sebelum kamu bertemu denganku. Kamu tak perlu khawatir karena aku sudah berbicara pada keluargaku dan keluargamu tentang pembatalan perunangan kita. Doaku selalu indah untukmu.
AKU BAHAGIA
JIKA KAMU BAHAGIA. Keep SMILE, Ben J
15/06/2011
Rasanya aku seperti tersambar petir
melihat simbol senyum tersebut. Aku mengambil iPhone dan segera menelpon Ben.
“Nomor yang Anda tuju sedang tidak
aktif.”