Tampilkan postingan dengan label Ninis Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ninis Cerpen. Tampilkan semua postingan

Kamis, 22 Maret 2012

Senyum Ben


Seminggu lagi merupakan hari yang menegangkan dan hari paling bahagia sepanjang hidupku. Keluarga pacarku, Ben raharjo akan datang untuk berkenalan dengan keluargaku. Maklumlah hubungan yang telah aku jalin sudah setahun lebih. Ben, Lelaki yang selalu menemaniku saat duka maupun bahagia. Ya, aku selalu bahagia dengannya. Saling pengertian dan jujur adalah kunci untuk kami berdua menuju hubungan yang serius.
Namun ketika itu, tiga hari sebelum acara perkenalan, aku bertemu dengan seseorang yang merupakan teman lamaku dan juga pernah mengisi hidupku dahulu.
Langkahku terhenti ketika ingin menuju kampus, seorang lelaki yang aku kenal betul berdiri di hadapanku, sedikit menghalangi jalanku. Mungkin tak sengaja. Tak lama kemudian lelaki itu tersenyum padaku.
“Rizky?” tanyaku sedikit terpana akan perubahan fisik dan stylenya yang sangat berbeda.
Kali ini Rizky terlihat lebih fashionable dibandingkan dahulu. Ya, dua tahun yang lalu ketika aku masih berpacaran dengannya. Ketika SMA.
“Ninis, kan?” tanyanya heran dan memastikan.
Aku mengangguk. Malu. Entah apa yang ingin kukatakan. Hubunganku dengan Rizky yang kujalin selama enam bulan tidak berhasil dengan indah karena setelah lulus SMA ia melanjutkan kuliahnya di Singapore dan aku tidak bisa melakukan Long Distance Relationship. Akhirnya dengan sangat terpaksa, kami memutuskan untuk berpisah hingga akhirnya aku bertemu dengan Ben dan menjalin hubungan.
“Kamu kuliah disini, Nis?”
“Ia, Riz,” jawabku singkat.
“Oh, jurusan apa?”
“Seni rupa.”
“Sudah lama kita tak bertemu, bagaimana kalau kita berbincang sebentar sambil makan siang?”
Aku terdiam. Bingung.
Satu detik. Dua detik. Tiga detik...
“Kamu keberatan?” tanya Rizky lagi.
Aku menggelengkan kepala. Dengan berat hati, aku memutuskan untuk makan siang dengannya. Yahh... aku pikir tak ada salahnya juga apabila aku hanya berbincang sebentar seputar pekerjaan dan keluarga, mungkin. Akhirnya sampailah kami pada sebuah restaurant sea food langgananku dengan Ben di sebrang kampus.
“Bukankah kamu di luar negeri?” aku mengawali pembicaraan.
“Ya benar tetapi sekarang aku sedang mengunjungi keluarga. Aku juga ada urusan dengan temanku di sebuah kantor, jadi kemungkinan aku akan sering balik kesini,” jelasnya.
Rizky terlihat memperhatikanku dengan seksama. Aku menjadi salah tingkah. Wajah yang dahulu aku kira tak akan pernah  terlihat lagi kini ada di depanku, dan sangat berbeda.
“Nomer kamu masih yang dulu, Nis?”
“Hmmm, enggak. Udah ganti,”
“Boleh aku save?”
“Hmmmm, boleh,”
“Nis, apakah kamu masih menungguku??” tanya Rizky to the point.
Aku terkejut dan tak menyangka Rizky bisa berbicara seperti itu. Ya Tuhan mengapa cobaan yang berat datang secepat ini. Dahulu aku sangat mencintai Rizky dan aku pernah berjanji untuk menunggunya namun karena aku tak sanggup dan Ben terlalu baik padaku, perasaan itu lambat laun hilang seiring berjalannya waktu.
Ben selalu membuat aku lupa dan tidak mengingat Rizky lagi. Ben yang selalu menghadirkan semangat untukku. Ben yang selalu menyalakan api ketika lilinku padam setiap mengingat Rizky. Namun kini kehadiran Rizky membuat jantungku berdebar-debar lagi tak karuan. Seperti waktu pertama kali aku berjumpa dengannya.
Walaupun penampilan Rizky berubah drastis, namun tatapan matanya masih sama seperti dahulu, teduh dan membuatku selalu ingin menatapnya. Aku terhanyut dalam buaian waktu saat ini.
Tiba-tiba iPhone-ku berbunyi membuyarkan lamunanku dan panggilan itu berasal dari Ben.
“Sayang, kamu dimana?” tanya Ben dari seberang telepon.
“A.. aku sedang makan siang,” jawabku sedikit gugup.
“Di kampus?”
“Bukan, di... di luar kampus Ben,”
“Pasti kamu makan sendiri lagi yaa? Lagi kepengen makan sea food kan kamu?” tanya Ben pasti dan hal itu benar. Ben yang mengetahui segala tentangku. Aku tidak akan makan di luar kampus selain di restaurant sea food ini.
“I.. iya,” aku hanya bisa menjawab seperti itu.
“Maaf ya aku masih di kantor jadi nggak bisa nemenin kamu deh,”
“Nggak apa-apa,” jawabku singkat.
Ah, baru kali ini aku membohongi Ben. Hal bodoh apa yang aku lakukan? Aku terus bertanya pada diriku sendiri. Pandangan Rizky mencuri pada wajahku sesekali kemudian tersenyum dengan sangat manis.
“Pulangnya jangan kemaleman ya, aku ada lembur di kantor malam ini,” Ben selalu memperhatikanku. Setiap hal kecil yang aku lakukan.
***
Sebulan kemudian. Setelah Ben dan keluarganya datang untuk berkenalan dengan keluargaku, tanpa sepengetahuan Ben, aku menerima ajakan Rizky untuk bertemu ditempat dahulu kita sering menghabiskan malam minggu di Excelso cafe. Kami berdua bergandengan tangan sambil membicarakan tentang hubungan yang dahulu pernah terjalin. Entah kenapa perbincangan berjalan dengan sendirinya tanpa aku sadari aku terhanyut. Oh, tiba-tiba aku sangat merindukan kejadian itu dan ingin mengulangnya kembali tanpa memikirkan Ben sama sekali.
Entah kenapa aku menjadi nyaman ketika berada di dekat Rizky lagi dan aku mulai menaruh harapan agar semua tidak berlangsung singkat. Aku inginkan seperti ini bersama Rizky berkepanjangan. Namun Ben, masih tetap sangat memperhatikanku di sela kesibukannya.
***
Sebuah email masuk dalam yahoo-ku.
Ben.raharjo@yahoo.com
Ninis, kemarin aku melihatmu bersama seseorang yang akhirnya kuketahui adalah kekasihmu sebelum kamu bertemu denganku. Kamu tak perlu khawatir karena aku sudah berbicara pada keluargaku dan keluargamu tentang pembatalan perunangan  kita. Doaku selalu indah untukmu.
AKU BAHAGIA JIKA KAMU BAHAGIA. Keep SMILE, Ben J
15/06/2011

Rasanya aku seperti tersambar petir melihat simbol senyum tersebut. Aku mengambil iPhone dan segera menelpon Ben.
“Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif.”

Minggu, 01 Mei 2011

F is For Fashion Not For Friend

cover Aneka Yess! edisi 09


F for Fashion not for Friend
Remaja memiliki dunianya sendiri. Dunia yang hanya ada kesenangan dan gaya. Begitupun dengan Kayla. Sekarang dia tidak harus mengenakan seragam lagi untuk pergi ke sekolah. Sudah enam bulan yang lalu dia menjadi mahasiswi tingkat satu di jurusan fashion design. Memiliki tubuh ramping bak model, ia pantas mengenakan semua jenis mode pakaian yang membalut dirinya. Dan Ia selalu  mengenakan high heels. Ia tidak bisa pergi tanpa heels-nya. Satu hal lagi yang menyempurnakan dunia remajanya adalah memiliki dua orang sahabat yang tak kalah cantik dan fashionable darinya.
Yang pertama, namanya Ayu. Sama seperti nama yang di milikinya. Ayu berparas cantik dan gaya bicaranya yang lemah lembut membuat setiap orang senang berada di dekatnya. Tubuhnya tidak tinggi dan ramping seperti Kayla, Ayu bertubuh sedang, tidak gemuk dan tidak juga kurus. Kulitnya putih dan rambutnya panjang menutupi bahu. Ayu selalu mengenakan rok dengan berbagai model yang membuat ia semakin anggun.
Yang kedua, Intan. Yeah, Intan memang agak lain di bandingkan Kayla dan Ayu. Sedikit tomboy namun tetap memiliki sisi feminim. Sepatu Boot! satu hal yang cukup menggambarkan tentang dirinya. Boot Lover’s. Terkadang ia menyatukannya dengan legging berwarna-warni membuat penampilannya semakin berbeda. Itulah salah satu alasan yang membuat mereka tertarik ingin menjadi designer. Memiliki karakter yang berbeda-beda akan tetapi mempunyai tujuan yang sama.
Siang itu di pendopo tempat berkumpulnya Kayla dan teman-teman. Seperti biasa Ayu asik dengan ipadnya sambil menikmati Lemonade water dan Intan sibuk dengan gamenya di PSP.
“Guys, kita ke pameran busana aja yuk!” Ajak Kayla kepada kedua sahabatnya.
“Yuk!” Ayu dan Intan menjawab serempak.
Selama enam bulan mereka bisa menjadi sahabat yang baik. Perkenalan mereka dimulai saat ospek dan hanya mereka bertiga yang datang terlambat. Alhasil, mereka dapat hukuman bersama. Ya, kebersamaan yang menyatukan mereka sampai sekarang. Sebisa mungkin, melakukan apapun selalu bersamaan. Mereka bertiga memiliki minat fashion yang sama. Itulah salah satu alasan yang membuat mereka tertarik ingin menjadi designer. Memiliki karakter yang berbeda-beda akan tetapi mempunyai tujuan yang sama.
Malamnya setelah nonton pameran, mereka bertiga seperti biasa berkumpul di rumah Kayla untuk berdiskusi tentang dunia fashion dari majalah HAI yang di baca.
“Cocok nggak ya, kira-kira kalau aku pakai busana seperti ini?” tanya Ayu sambil memperlihatkan majalah yang di pegangnya kepada Kayla dan Intan.
“Cocok aja sih, why not?” Kayla menjawab sambil melirik majalah yang ditunjukkan Ayu.
“Cocok, tapi kenapa sih kita nggak merancang sendiri busana yang akan kita pakai? Itu jauh lembih menyenangkan bukan?” Intan memberi ide.
“Aku tau! Tadi siang aku baca mading, disitu ada kontes fashion design, bagaimana kalau kita bertiga ikut berpartisipasi? Pemenangnya nanti akan dibuatkan pameran lho selama satu minggu.” Kayla menambahi.
That’s cool!” Ayu menyetujui.
“Kita mix and match pakaian yang ada di lemari aku lagi yuk!” Ajak Kayla.
“Ok, mungkin kita bisa dapet inspirasi dengan pakaian-pakaian jadul milik kamu Kay!” seru Intan.
HAHAHAHA. Mereka bertiga tertawa bersamaan. Penuh keceriaan. Sahabat memberi tawa dan juga memberi arti. Mereka bertiga saling mengisi dan selalu ada saat yang lain membutuhkan.  That’s what friends are for...
***
Selama beberapa hari Kayla jarang bertemu dengan kedua sahabatnya. Ya, pastinya mereka sedang sibuk membuat rancangan dan materi yang akan di siapkan untuk mengikuti lomba. Lama kelamaan Kayla bosan dengan situasi seperti ini. Kayla kembali mengubungi teman-temannya.
“Yu, kamu dimana? ngumpul di pendopo sekarang ya!” Kayla berbicara pada Ayu di telepon genggamnya.
“Iya, aku lagi nunggu dijemput Intan.” jawab Ayu diseberang.
Satu jam kemudian Kayla sudah berkumpul dengan kedua sahabatnya. Seperti tidak bertemu setahun lamanya, mereka bertiga saling berpelukan. Tak sabar untuk memperlihatkan karya miliknya. Ayu dan Intanpun sudah siap mempersentasikan rancangan miliknya masing-masing.
“Kay, kamu duluan aja setelah itu Intan dan aku yang terakhir,” kata Ayu.
Kayla mulai menunjukan rancangan busana miliknya di laptop. Lengkap dengan sepatu high heels andalannya. Tak mau kalah Intanpun menunjukan rancangan busana miliknya beserta sepatu boot berwarna merah kesukaannya.
“Kamu yang bener aja Tan, masa dari atas sampe bawah udah feminim trus sepatunya boot? nggak salah?” Kayla memberitau Intan.
“Maksud kamu apa, Kay? This is my style and i don’t care what you say! rancangan kamu juga nggak matching dengan heels-nya. Terlalu minimalis. ”
“Kamu harusnya memperhatikan saran dari aku bukan malah menjelek-jelekan karyaku!” Kayla menahan emosi.
“Kenapa jadi dramatis begini sih kalian?” Ayu menengahi.
“Ok, kayaknya tema kompetisi  ini ‘F for Fashion not for Friend’. Bye! See you at the competition” bentak Intan yang kemudian pergi dengan Jeep-nya meninggalkan Ayu dan Kayla.
“Tapi apa yang Intan bilang bener juga Kay, rancangan yang kamu buat terlalu minimalis. Mungkin bisa kamu tambah dengan accessories.” Ayu menyarankan.
“Udah deh Yu, aku lagi nggak mau denger saran dari siapapun. Urus aja rancangan kamu dan kita lihat nanti pengumuman lombanya dua minggu lagi.”
Ayu hanya diam. Ia merasa kehilangan dua orang sahabatnya. Tapi apakah Kayla dan Intan merasakan hal yang sama padanya?
***
Dua minggu telah tiba. Hari yang dinanti-nanti oleh Kayla, Intan dan Ayu. Sejak perselisihan mereka waktu itu, mereka jadi tidak bertegur sapa di kampus. Sebenarnya, dlam lubuk hatai Kayla, ia sangat rindu berkumpul dengan Ayu dan Intan. Tak ada lagi hari-hari yang menyenangkan bersama mereka. ini merupakan pukulan yang berat dalam dirinya. Harus mengadu pada siapa selain mereka?
Sebuah gedung dengan desain interior yang menarik menjadi tempat di umumkannya pemenang lomba. Mata Kayla terus mencari-cari sosok Ayu dan Intan. Sama sekali tak terlihat sejak ia datang. Hingga pada akhirnya matanya berhenti menatap seorang gadis yang anggun dan tentunya mengenakan gaun putih berhias dengan gemerlap emas seperti sahabatnya. Dia memang Ayu. Seketika Kayla berlari dengan pasti mengenakan high heels-nya menghampiri Ayu dan mereka saling berpelukan kemudian menatap satu sama lain.
I miss you!” Ayu memeluk Kayla dengan lembut.
“Mana si tomboy Intan? Akan aku peluk nanti dia kalau masih memakai sepatu boot nge-jreng andalannya.”
Kayla dan Ayu berjalan mengitari ruangan mencari sahabatnya. Intan.
Beberapa lama sudah mereka berdua tidak menemukan Intan. Pikirnya Intan tidak datang hingga akhirnya waktu yang ditunggu telah tiba untuk mengumumkan siapa pemenang lomba tahun ini. Satu di antara lima pemenang sama sekali tidak ada nama Kayla, Ayu maupun Intan. Walaupun begitu, Kayla dan Ayu merasa bahagia dapat menemukan kembali sahabatnya.
“Kayla! Ayu!” teriak seorang cewek mengenakan sepatu boot tentunya.
Kayla dan Ayu menghampiri Intan dan mereka saling berpelukan. Tidak ada yang lebih bahagia di bandingkan Sahabat. Fashion is fashion and friend is everything!
 *Naskah asli berbeda sedikit dgn yg sudah di edit di majalah*

Jumat, 08 Oktober 2010

Aku bahagia jika kamu bahagia

Seminggu lagi merupakan hari yang menegangkan dan hari paling bahagia sepanjang hidupku. Aku akan dilamar oleh seseorang lelaki yang telah mengisi hidupku selama dua tahun. Ben Simatupang. Lelaki yang selalu menemaniku saat duka maupun bahagia. Ya, aku selalu bahagia dengannya. Sangat bahagia. Suatu pernikahan merupakan acara sakral bagi setiap pasangan yang saling mencinta.
Namun tiga hari sebelum acara lamaran, seseorang yang merupakan teman SMA-ku dan pernah mengisi hidupku dahulu datang dan hadir ke kantorku. Tanpa disengaja dan tanpa kuduga.
“Mas Rizky?” tanyaku sedikit terpana akan perubahan fisik dan style.
“Mayra, kan?” tanyanya heran dan memastikan.
Aku mengangguk. Malu. Entah apa yang ingin kukatakan. Hubunganku yang kujalin selama enam bulan tidak berhasil dengannya karena setelah lulus SMA ia melanjutkan kuliahnya di Amerika dan aku tidak bisa melakukan hubungan jarak jauh. akhirnya kami memutuskan untuk berpisah hingga akhirnya aku bertemu dengan Ben.
“Kamu kerja disini, May?”
“Ia, Mas,” jawabku singkat.
“Sudah lama kita tak bertemu, bagaimana kalau kita berbincang sebentar sambil makan siang?”
Aku terdiam. Bingung. Belum pernah sebelumnya aku pergi dengan seorang pria hanya berdua saja selain Ben.
“Kamu keberatan?”
Aku menggelengkan kepala. Aku memutuskan untuk makan siang dengannya. Yahh aku pikir tak ada salahnya juga aku hanya berbincang seputar pekerjaan, mungkin. Akhirnya sampailah kami pada sebuah restaurant sea food dekat kantorku.
“Bukankah mas menetap di Amrik?” aku mengawali pembicaraan.
“Ya benar tetapi sekarang aku sedang mengunjungi keluarga. Aku juga ada urusan dengan direktur tempat kamu bekerja jadi kemungkinan aku akan balik lagi kesini,” jelasnya.
Mas Rizky terlihat memperhatikanku dengan seksama. Aku menjadi salah tingkah.
“May, apakah kamu masih menungguku??”
Ya Tuhan mengapa cobaan datang secepat ini. Dahulu aku sangat mencintai mas Rizky dan aku pernah berjanji untuk menunggunya namun karena aku tak sanggup dan Ben terlalu baik padaku, perasaan itu hilang. Ben selalu membuat aku lupa dan tidak mengingat mas Rizky lagi. Ben yang selalu menghadirkan semangat untukku. Namun kini kehadiran mas Rizky membuat jantungku berdebar-debar tak karuan. Kerongkonganku terasa kering. Tanganku gemetar saat mas Rizky menggenggamnya.
Tiba-tiba iPhone-ku berbunyi dan panggilan itu berasal dari Ben.
“Sayang, kamu dimana?” tanya Ben dari seberang telepon.
“A.. aku sedang makan siang,” jawabku sedikit gugup.
“Di kantor?”
“Bukan, di... di luar kantor Ben,”
“Pasti kamu makan sendiri lagi yaa? Lagi kepengen makan sea food kan kamu?” tanya Ben pasti dan hal itu benar. Ben yang mengetahui segala tentangku.
“I.. iya,” aku hanya bisa menjawab seperti itu.
Ah, baru kali ini aku membohongi Ben. Hal bodoh apa yang aku lakukan? Aku terus bertanya pada diriku sendiri.
Pandangan Mas Rizky mencuri pada wajahku sesekali.
Sebulan kemudian.
Setelah Ben dan keluarganya datang untuk melamarku, tanpa sepengetahuan Ben, aku menerima ajakan mas Rizky untuk bertemu ditempat dahulu kita sering menghabiskan waktu malam minggu di Excelso cafe blok M.
“May, aku selalu memikirkanmu...”
Aku tersentak saat mas Rizky berbicara seperti itu. Mas rizky menggenggam erat tanganku yang dingin dan menciumnya.
###
Sebuah email masuk dalam yahoo-ku.
Ben.simatupang@yahoo.com
Mayra, kemarin aku melihatmu bersama seseorang yang akhirnya kuketahui adalah kekasihmu sebelum kamu bertemu denganku. Kamu tak perlu khawatir karena aku sudah berbicara pada keluargaku dan keluargamu tentang pembatalan pernikahan kita. Doaku selalu indah untukmu. AKU BAHAGIA JIKA KAMU BAHAGIA. With love, Ben.
15/06/2010 Sunday
Rasanya aku seperti tersambar petir. Kuambil iPhone dan segera menelpon Ben.
“Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif”

Kamis, 30 September 2010

Aku si Anak Jalan


Hari ini, esok dan seterusnya aku akan seperti ini. Ah, tidak! esok dan seterusnya hatiku berkata lain. Aku tidak ingin terus menerus hidup dalam bayang-bayang hitam dan kegelapan. Langkah kecilku yang mungil dengan bertelanjang kaki berjalan dari kendaraan satu menuju kendaraan lain yang berhenti pada sebuah lampu merah di daerah cawang, menyanyikan sebuah lagu anak jalanan dihiasi alunan musik yang terbuat dari botol minuman bekas yang berisikan sedikit beras.
Seorang laki-laki muda berpenampilan yang bisa kubilang seperti orang kaya, duduk sambil memainkan handphone yang dipegangnya. Dia menatapku sinis. Ketika aku selesai bernyanyi dan berjalan menuju arahnya untuk meminta uang yang merupakan secercah harapan untuk bisa menabung demi kehidupan kelak, ia sama sekali tak menghiraukan. Berpura-pura tidak melihatku.
“Dasar orang kaya pelit!” aku bergumam dalam hati ketika turun dari bus yang baru saja aku naiki.
Aku lelah, tubuhku tersengat matahari dan diterpa angin hujan. Umurku  sepuluh tahun dan tidak ada perubahan sama sekali pada kehidupanku setiap tahunnya. Mengapa nasibku seperti ini? Siapa yang bertanggung jawab atas diriku? Orang tuapun aku tak tau dimana bahkan siapa... aku hanya mengenal jalanan, lampu merah, bus, metro mini, dan itu-itu saja setiap harinya. Hari semakin sore. Macet. Ya, hanya itu yang dapat kugambarkan mengenai suasana Jakarta sekarang. Mataku tertuju pada...
Ah!
Tak percaya!
Seorang anak kecil seumuranku berjalan mengenakan tongkat kayu yang mungkin ia dapatkan dijalanan. Kakinya hanya satu. Anak itu berjalan dengan gesit dan lincah walaupun keadaannya sangat sulit. Bermodalkan karung goni yang dikenakan pada bahunya dan sebuah tongkat besi, ia mengambil botol bekas dan sampah yang bertebaran dijalan lalu dengan senyuman menghiasi wajahnya yang penuh debu ia berjalan menyusuri pinggir jalan raya.
Ya, TUHAN!!!
Ya, GUSTI!!!
Aku masih sangat beruntung dan seharusnya aku mensyukuri semua karunia yang tidak pernah aku sadar akan hal itu. Memiliki tubuh yang lengkap. Kini aku lebih menghargai sesuatu dalam bentuk apapun dan sekecil apapun dan yang paling penting adalah untuk menghargai diri sendiri.


Rabu, 29 September 2010

Bacakan cerita cinta untukku

Tingkat buta aksara di Indonesia sangat tinggi, bersaing tingginya dengan kemiskinan. Kemiskinan dapat membuat seseorang menjadi terpuruk. Miskin harta, miskin ilmu pengetahuan, dan kemungkinan menjadi miskin hati. Apalagi untuk para warga yang tinggal di desa-desa. Adanya perpustakaan kelilingpun tidak memadai. Banyak anak-anak di desa kami yang tidak merasakan aliran pendidikan. Yang aku tahu hanyalah bagaimana membantu kedua orang tua untuk menyambung kehidupan esok hari. Aku adalah satu dari sekian ribu anak-anak tersebut. Anak-anak yang malang dan tidak dipedulikan. Aku terasingkan dari dunia nyata yang hebat ini. Aku buta dan tidak ada seorangpun yang membuka mataku untuk mencicipi atau sekedar melihat keindahan dunia.

Kumohon, bacakan cerita indah untukku
bacakan cerita cinta untukku
bacakan cerita yang membahagiakan hatiku

Sabtu, 18 September 2010

Sehari sebelum Mati


Srikandi. Ku dengar begitulah namanya. Seorang wanita muda dan cantik yang membuatku tergila-gila setengah mati. Dan hampir mati. Aku hanya bisa menikmati kecantikkan wajahnya dari jauh. aku selalu memotretnya secara diam-diam. Pusat konsentrasiku selalu buyar saat memikirkannya. Selalu dan selalu seperti itu. Wanita itu terlihat sempurna dan aku berharap wanita itu masih lajang. Beruntungnya aku karena satu kampus dengannya.

Tiga hari sebelum mati. Aku mengikuti wanita itu sepulang dari kuliah. Mengikuti mercedes benz  berwarna merah menuju sebuah cafe. Pandanganku terus mengikutinya. Ya, wanita itu memang sering berada disini walaupun hanya untuk ice pearl tea-nya. Kembali aku arahkan lensa kameraku pada wajahnya. Setiap gerak gerik tubuhnya aku abadikan dalam kamera kesayanganku.

Dua hari sebelum mati. Di kampus. Wanita itu terlihat sedang bersenda gurau bersama temannya di sebuah pendopo di bawah pepohonan sambil memainkan laptopnya. Secangkir coffee latte menemaniku menikmati satu jiwa yang berperang melawan hati.

Malamnya. Satu botol vodka habis untuk merenungi semuanya sambil menatap ribuan gambar dan foto tentang dirinya. Sakit hati aku mengetahui dari temanku bahwa Srikandi sudah memiliki tunangan. Ahhh! Seharusnya, NO LOVE, NO HEARTBREAK.

Sehari sebelum mati.

Detik-detik menuju kematian.

Satu...

Dua...

Tiga...
Srikandi... Semua aku persembahkan hanya padanya. Diriku tak kan sanggup melihatnya bersama lelaki manapun. Maka, berakhirlah...


Senin, 13 September 2010

Ku tunggu datangnya hari itu



Ku tunggu datangnya hari itu


            Aku dan Agrita adalah teman sebangku sejak kelas dua es em u. Kami berdua bisa di bilang akrab bahkan sudah seperti saudara sendiri. Apabila aku mempunyai masalah dan tidak bisa menyelesaikannya, Agrita yang selalu ada di sisiku dan membantuku begitupun sebaliknya. Kami berdua sering mengerjakan tugas sekolah bersama, pergi bersama, nonton bersama dan segala sesuatunyapun biasa kami lakukan bersama baik itu senang maupun sedih.

            Seminggu yang lalu Agrita mengenalkan teman cowoknya yang bernama Radit kepadaku. Agrita tau, bahwa selama ini aku belum pernah dekat dengan seorang cowok apalagi sampai berpacaran! Tak terasa semakin hari setelah perkenalanku dengan Radit, hubungan kami berdua menjadi sangat dekat. Radit sering menelponku dan kami berdua juga sering es em es an.
            “Tha, kok kamu diem aja?” Tanya Agrita membuyarkan lamunanku.

            “Ah, enggak kok.” Jawabku singkat.

            “Gimana sama Radit?” Tanya Agrita menggodaku.

            “Gimana apanya?” aku malah balik Tanya.

            “Sukses deh buat kalian berdua.” Ledek Agrita.

            Aku tersenyum lalu merangkul Agrita dan ia pun membalas rangkulanku.

            Rencananya, siang sepulang sekolah ini Radit akan menjemput dan mengantarku pulang ke rumah sehingga aku dan Agrita menunggunya di depan gerbang. Entah kenapa saat aku menunggu kedatangan Radit, hatiku berdebar-debar namun Agrita terus-terusan membujukku agar tidak nervous.
            “Hai, Retha!” sapa Radit ketika sampai di hadapanku seraya turun dari motornya.

            Duh, ngomong apa nih gue sama Radit? Aku membantin.

            “Hai.” Balasku singkat sambil tersenyum meringis.

            “Tha, Dhit, aku balik duluan, ya?” pamit Agrita yang kemudian langsung menyetop  taksi.

            “Kamu mau pulang sekarang?” Tanya Radit kepadaku.

            “Sebenernya sih aku mau ke toko buku dulu tapi kalo kamu nggak bisa nganter sih nggak apa-apa.” Jelasku.

            “Yuk, aku anter.” Ajak Radit kemudian ia telah siap dengan motornya.

            Aku menaiki motor Radit kemudian ia membawanya dengan kencang. Cuaca siang ini sangat panas namun jari-jari tanganku terasa sangat dingin. Akhirnya kami berdua telah sampai di toko buku daerah Depok.

            Setelah masuk langkahku terhenti karena aku melihat tempat sekumpulan sastra yang aku cari.

            “Kamu suka sastra-sastra gitu?” Tanya Radit.

            “Iya, kamu sendiri suka buku apa?”

            “Aku sih suka sama buku tentang otomotif.”

            Aku menganggukan kepala lalu segera mengambil sekumpulan sastra milik Kahlil Gibran dan menuju kasir namun saat aku ingin membayarnya, Radit telah membayarnya terlebih dahulu. Aku melarang namun ia hanya tersenyum dan mengajakku pergi.

            Ya, semakin hari nampaknya aku semakin dekat dengan Radit. Apabila Radit tidak menelpon atau sekedar mengirimkan es em es, aku merasa ada sesuatu yang hilang. Terkadang juga aku memikirkannya. Mungkinkan ini yang namanya cinta pertama. Entah apalah namanya, pastinya aku merasakan yang belum pernah aku rasakan.

***

            “Tha, nanti ke rumah Dewi, yuk!” ajak Agrita dan Irfan.

            “Duh Grit, Fan, kayaknya kalo hari ini nggak bisa deh.” Jawabku.

            “Kenapa?” Tanya Irfan.

            “Aku mau makan siang sama Radit.” Jawabku sambil tersenyum malu-malu.

            “Oh, ya udah.” Kata Agrita mengerti diriku.

            Sepulang sekolah seperti biasanya aku menunggu Radit di depan gerbang dan akhirnya tak berapa lama kemudian Radit telah sampai. Tidak menunggu lama, kami berdua bergegas ke restoran tempat kami makan.

            “Tha!” panggil Radit tiba-tiba saat kami duduk di bangku..

            “Iya.” Jawabku.

            “Aku nggak mau kehilangan kamu karena aku sayang sama kamu dan aku ngerasa kalo kita berdua tuh cocok dan saling mengisi kekurangan satu sama lain.”

            Aku kaget setengah mati. Minuman yang baru saja ku minum hampir keluar lagi dari mulutku. Rasa senang bercampur kaget bergemuruh dalam hatiku. Hati ini tak bisa berbohong bahwa aku juga merasakan yang Radit rasakan. Akupun takut kehilangan dirinya. Ini yang pertama kalinya aku rasakan namun seiring jam berjalan, Radit belum memintaku untuk menjadi pacarnya seperti yang aku harap dan aku inginkan sehingga akupun tak akan memulai segalanya.

            Setelah makan siang, Radit mengantarku sampai rumah dan anehnya sebelum ia pergi, ia menggenggam tanganku dengan erat lalu berkata agar aku tidak berhubungan lagi dengan Agrita.

            “Tha, kamu percaya kan sama aku? Aku nggak mau kamu dekat-dekat sama Agrita karena dia bukan sahabat yang baik. Dia selalu menjelekkan kamu di hadapan aku.” Kata-kata itu yang selalu terbayang di benakku. Aku bimbang dengan semuanya. Aku tak pernah menyangka Agrita tega menjelek-jelekan aku pada Radit. Di satu sisi Agrita adalah teman baik untukku dan di sisi lain Radit adalah cinta pertamaku dan aku tidak mau kehilangan Radit.

            Akhirnya aku memutuskan untuk menjaga jarak dengan Agrita. Di sekolah, aku jadi jarang bicara dengan Agrita. Ke kantin atau kemanapun aku selalu minta antar Irfan. Agrita mungkin menyadari perubahan sifatku. Hingga akhirnya saat aku berpapasan dengan Agrita di kamar mandi.

            “Kamu kenapa sih Tha akhir-akhir ini berubah?” Tanya Agrita.

            “Kenapa? Kayaknya biasa-biasa aja deh,” Aku mengelak sebisa mungkin.

            Namun aku tau betul bahwa aku tidak dapat menyembunyikan rasa kegelisahanku dan Agrita tau itu. Agrita terus menatap wajahku dalam-dalam.

            “Jujur aja deh, ada apa?”

            Aku terdiam.

            “Ada apa Tha?! Kamu piker aku nggak ngerasa? aku bukan sahabat kamu yang bego yang nggak tau apa-apa tentang kamu!” bentak Agrita.

            “Ya, karena kamu tau semua tentang aku, kamu bisa bersikap seenajnya dan ngejelek-jelekin aku kan?!” balasku lalu pergi meninggalkan Agrita yang kelihatan kebingungan.

            Agrita berlari sambil memanggil namaku namun tidak ku hiraukan. Ia mengejarku sebisa mungkin.

            “Maksud kamu apa sih Tha?” paksa Agrita sambil menggoyangkan bahuku.

            Aku melepaskan cengkraman Agrita di bahuku kemudian berlari dengan cepat meninggalkannya. Aku tak mau merusak hubunganku dengan Agrita tapi aku juga tak mau hubunganku menjadi jauh dengan Radit. Sejujurnya, aku sangat berharap bisa berpacaran dengan Radit sehingga aku menikmati hari-hariku bersamanya dan tidak juga mengorbankan persahabatan yang telah lama ku jalin dengan indah.

***

            Aneh, sudah sebulan ini Radit sama sekali tidak menghubungiku. Baik via apapun. Aku resah namun aku mencoba mengerti kesibukannya dan tidak menggangu konsentrasinya. Mungkin saja ia sedang sibuk menghadapi ulangan atau pe er nya yang setumpuk.

            Sore ini, Irfan mengerjakan tugas Matematika di rumahku.

            “Tha, kamu kayaknya makin jauh deh sama Agrita.” Kata Irfan tiba-tiba.

            Selintas aku berpikir. Apa artinya aku tanpa Agrita di sisiku? Sudah tak ada lagi warna-warni canda yang menghiasi kehidupanku. Semuanya hilang begitu saja tanpa makna.

            “Ah biasa aja.” Jawabku.

            “Eh, kamu sebenernya udah jadian belum sih sama yang namanya Radit-Radit itu?” Tanya Irfan.

            “Belum, emang kenapa?”

            “Kayaknya kemaren pas aku ke mall sama ajeng, aku ketemu Radit sama…”

            Aku mengerutkan kening.

            “Sama…”

            “Sama siapa?” tanyaku sedikit membentak.

            “Agrita.”

            Ngapain Agrita jalan sama Radit? Dan bukannya Radit yang melarangku dekat dengan Agrita? Tapi kenepa? Aku terus bertanya pada diriku sendiri.

            Kaget, sedih, perih, hancur lebur hatiku mendengar ucapan Irfan. Apa yang ada di balik semua ini?

***

            “Orang yang paling gue benci seumur hidup adalah kalian berdua!!!” bentaku pada Radit dan Agrita saat datang ke rumahku dan membuat statement bahwa mereka berdua telah jadian tanpa sengaja.

            Agrita dan Radit hanya terdiam dan saling berpandangan. Terlihat jelas, raut bersalah dalam wajah mereka berdua. Agritapun hampir menangis.

            “Asal kalian tau, gue bukan orang yang murah dalam menilai persahabatan dan cinta! Tapi kenapa kalian tega menghancurkan prinsip gue?”

            “Tha, tolong jangan kayak gitu!” pinta Radit sambil mendekatiku.

            “Apa? gue benci sama lo! Kalo emang lo bakal kayak gini, nggak usah ngasih-ngasih harapan yang buat gue terbang tinggi hingga akhirnya jatuh terbanting.” Aku berkata dengan linangan air mata. “Terbanting Dit…” ulangku pelan.

            “aku nggak tau harus gimana sama kamu, Tha!! Maafin aku dan Radit karena kita berdua emang salah!” Agrita berusaha menenangkanku.

            “Lo juga Grit! Temen apaan lo? Jujur, Bukan kalian berdua yang salah! gue yang salah, gue yang selalu salah dan gue juga salah menilai kalian berdua. Terima kasih atas penghianatan yang kalian berikan. Sekarang gue sadar bahwa lo berdua bukanlah seorang cowok dan sahabat yang sesungguhnya buat gue!!!” Bentakku lalu meninggalkan Radit dan Agrita.

            Aku hanya dapat menunggu hari itu, Hari itu yang akan membalas sakit hatiku.

***

            “Huaaah.” Aku menguap. Baru saja aku terbangun dari mimpi buruk. Bajuku basah dengan keringatku sendiri. Untunglah semua itu Cuma mimpi. Tak pernah terlintas dalam benakku apabila itu semua dapat terjadi. Aku tak mau menghancurkan persahabatanku hanya karena seorang cowok. THAT’S NOTHING!!!

            Ku lihat jam dinding telah menunjukkan pukul 05.00 subuh. Aku segera membereskan tempat tidurku kemudian  bergegas ke kamar mandi dan bersiap-siap ke sekolah.

            Paginya saat aku sampai di sekolah.

            “Tha, ngelamun apa sih?” Tanya Agrita membuyarkan lamunanku.

            “Ah, enggak.”

            “Nih!” seru Agrita sambil menyerahkan sebuah kartu nama padaku.

            “Apaan nih?” tanyaku bingung.

            “Coba deh lo liat,” suruh Agrita. “Namanya Radit, cowok yang mau gue kenalin sama lo.” Jelas Agrita sambil tersenyum.

            “HAH????!!!!!!!!!!!!!!!!”



Tak ada Seorangpun


Cerita dari seorang  Bapak sekaligus sahabat untukku. Jakarta pada tahun 1988. Aku pun belum lahir saat itu dan dia baru berumur tujuh belas tahun. Masa peralihan.  Tidak seperti remaja pada umumnya, kebahagiaannya direnggut oleh waktu. Sejak lahir ia sudah seorang diri dan di rawat oleh salah satu panti asuhan yang ada di jakarta timur. Menurut cerita ibu panti, dua puluh satu tahun yang lalu ditemukan seorang bayi terbungkus dengan kain putih di halaman rumah seorang warga kemudian warga tersebut membawanya ke panti asuhan. Sungguh tragis. Aku tidak bisa membayangkan. Tahun demi tahun ia beranjak dewasa. Tak satupun  pasangan bahagia yang mengadopsinya. Pernah suatu ketika ada sepasang suami istri yang menginginkannya dan bertanya pada kepala panti namunketika mengetahui bahwa ia buta, pasangan tersebut tidak jadi mengadopsi.
“Seperti bunga, saya sedang tumbuh liar. Tak ada ciuman dari seorang Ibu dan senyuman dari seorang Ayah,” katanya waktu itu.
Hatiku rasanya tersambar petir. Ia kuat. Ia tegar dan ia tabah menjalani hidup. Tidak seperti aku yang selalu menggantungkan hidup kepada kedua orang tuaku sampai detik ini. Aku hanya bisa meminta tanpa memberi. Aku hanya bisa menolak tanpa mensyukuri. Dan aku hanya bisa menangis tanpa bertahan. Namun terkadang satu hal yang aku lupa, untuk mensyukuri nikmat yang Tuhan  berikan.
“Tak ada seorangpun yang menginginkan saya,” katanya lagi waktu itu.
Air mataku mulai turun membasahi pipiku. Tak kuasa aku menahannya. Dia sendiri. Seorang diri. Dari lahir, beranjak remaja, dewasa hingga sekarang.  Aku terus menatap batu nisan yang di atasnya bertuliskan namanya. Sahid Satria. Sekarang ia tidak sendiri lagi. Pasti banyak yang mau menemaninya.

*terinspirasi oleh lagu Nobody's child-Karen Young



 

Ninis Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | Illustration by Enakei | Blogger Blog Templates